Jumat, 27 April 2012

Ta`ârudh al-adillah


PENDAHULUAN

Islam adalah agama yang memiliki hukum yan kontratietas antara yang satu dengan yang lain sehingga banyak ulama-ulama yang menyimpulkan hukum dengan pemikirannya sendiri tapi semua itu tidak lepas dari dasar yang awal atau dari asal mula hukum tersebut seperti halnya dalam membahas ushul fiqih kita mungkin bahkan sering menemukan ke kontratietas tersebut.
Ta'arudh al-adillah adalah salah satu pertentangan dalil dalam ushul fiqih dimana dalil satu dengan dalil yang lain saling bertentangan, maka penulis mengajak pembaca mempelajari tentang pertentangan-pertentangan tersebut (ta'arudh al-adillah) semoga dan kita mengetahui dalil-dalil tersebut (dalil yang benar) kita tidak terjerumus dalam jalan yang salah.

Latar Belakang
A.    Pengertian ta'arudh al-adillah
B.     Cara menyelesaikan ta'arudh al-adillah
C.     Pendapat para ulama dalam penyetaranya


MASALAH TA'ÂRUDH AL-ADILLAH
(PERBENTURAN DALIL)

A.    Pengertian Ta`ârudh al-adillah
Secara etimologi, ta'ârudh ( التعارض ) berarti "pertentangan" dan adil­lah    ( الأدلة ) adalah jamak dari dalil ( الدليل ) yang berarti "alasan, argumen dan dalil." Persoalan ta'ârudh al-adillah dibahas para ulama dalam ilmu ushul fiqh, ketika terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama.
Secara terminologi, ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh tentang ta'ârudh al-adillah:
1.      Imam al-Syaukani, mendefinisikannya dengan "suatu dalil menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan itu."
2.      Kamal ibn al-Humam (790-861 H/1387-1456 M.) dan al-Taftazani (w. 792 11.), keduanya ahli fiqh Hanafi, mendefinisikannya dengan "perten­tangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan kompromi antara kedua­nya."
3.      'Ali Hasaballah (ahli. ushul fiqh kontemporer dari Mesir) mende­finisikannya dengan "terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat."
Pengertian satu derajat adalah antara ayat dengan ayat atau antara Sun­nah dengan Sunnah. Contoh pertentangan dalam ayat al-Qur'an adalah se­perti ketentuan tentang 'iddah wanita yang kematian suami. Firman Allah dalam surat al-Bagarah, 2: 234, menyatakan bahwa wanita-wanita yang kematian suami 'iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Ayat ini tidak membedakan antara wanita itu hamil atau tidak. Secara umum Allah menyatakan bahwa, apabila seorang wanita kematian suami, maka 'iddahnya selama 4 bulan sepuluh hari. Dalam surat al-Thalaq, 65: 4, Allah menyatakan bahwa wanita yang hamil 'iddahnya sampai melahirkan anaknya. Ayat ini juga tidak membedakan antara cerai hidup (talak) atau cerai mati (kematian suami). Secara umum ayat ini mengandung pengertian bahwa wanita hamil yang dicerai suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, 'iddahnya adalah sampai melahirkan. Dengan demikian, terdapat pertentangan kandungan kedua ayat tersebut bagi wanita hamil yang kematian suami.
Contoh lain dari hadits Rasulullah saw. adalah dalam masalah riba. Dalam sebuah sabda Rasulullah saw. dinyatakan bahwa:
لاَرَيْباً إِلاَّ فِى النَّسِيْئَةِ
Tidak ada riba kecuali riba nasi'ah [riba yang muncul dari utang piutang] (H.R.al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini meniadakan bentuk riba selain riba nasi'ah, yaitu riba yang berawal dari pinjam meminjam uang. Dengan demikian, riba al-fadl (riba yang muncul akibat suatu transaksi, baik jual beli dan transaksi lainnya), tidaklah haram. Akan tetapi, dalam hadits lain Rasulullah saw, menyata­kan:
لاَتَبِيْعُ الْبُرَّ بِالْبُرِّ إِلاَّ مَثَلاً بِمَثَلٍ
Jangan kamu jual gandum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang sama.. (H.R. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad ibn Hanbal)
Hadits ini mengandung hukum bahwa riba al-fadl diharamkan. Antara
kedua hadits tersebut terkandung pertentangan hukum dalam masalah riba
al-fadl.
Hadits pertama membolehkan, dan hadits kedua mengharamkan.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, pertentangan antara kedua dalil atau hukum itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan kemampuan pemahaman, analisis, dan kekuatan logikanya; bukan pertentangan aktual, katena tidak mungkin terjadi Allah atau Rasul-Nya menurunkan aturan­-aturan yang saling bertentangan. Oleh sebab itu, menurut Imam al-Syathi­bi, pertentangan itu bersifat semu, bisa terjadi dalam dalil yang qath`i (pasti benar) dan dalil yang zhanni (relatif benar), selama kedua dalil itu dalam satu derajat. Apabila pertentangan itu antara kualitas dalil yang berbeda, Seperti pertentangan antara dali yang qath'i dengan yang zhanni, maka yang diambil adalah dalil yang qath'i, atau apabila yang bertentangan itu ayat al-­Qur'an dengan hadits âhâd (hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau tiga orang lebih yang tidak sampai ke tingkat mutawatir), maka dalil yang diambil adalah al-Qur'an, karena dari segi periwayatannya ayat-ayat al-­Qur'an bersifat qath'i, sedangkan hadits âhâd bersifat zhanni.
Di camping itu, menurut Wahbah al-Zuhaili, pertentangan tidak mung­kin muncul dari dalil yang bersifat fi'liyyah (perbuatan), seperti dalil yang menunjukkan Rasul berpuasa pada hari tertentu, kemudian ada lagi dalil lain yang menyatakan bahwa pada hari itu ia juga berbuka.

B.     Cara Menyelesaikan Ta'ârudh al-Adillah
Apabila seorang mujtahid menemukan adanya dua dalil yang bertentangan, maka ia dapat menggunakan dua cara penyelesaiannya. Kedua cara itu, dikemukakan masing-masing oleh ulama Hanafiyyah dan ulama Syafi'iyyah.
1.      Menurut Hanafiyyah
Ulama Hanafiyyah dan Hanabilah mengemukakan metode penyelesai­an antara dua dalil yang bertentangan tersebut dengan cara:
a.      Naskh
Naskh ( النسخ ), adalah membatalkan hukum yang ada didasarkan ada­nya dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda dengan hukum pertama. Dalam hubungan ini, seorang mujtahid harus beru­saha untuk mencari sejarah munculnya kedua dalil tersebut. Apabila dalam pelacakannya satu dalil muncul lebih dahulu dari dalil lainnya, maka yang ia ambil adalah dalil yang datang kemudian.
Dalam kasus pertentangan ayat yang berbicara tentang 'iddah wanita di atas, misalnya, menurut Jumhur ulama, 'Abdullah ibn Mas'ud (sahabat) meriwayatkan bahwa ayat kedua, yaitu yang menyatakan bahwa 'iddah wanita hamil sampai melahirkan (al-Thalaq, 65: 4), datang kemudiati dibanding ayat dalam surat al-Baqarah, 2: 234 yang menyatakan bahwa wanita kematian suami 'iddahnya 4 bulan 10 hari. Oleh sebab itu, ayat 4 surat al-Thalaq me-naskh-kan (membatalkan) hukum 4 bulan 10 hari untuk wanita hamil yang tercantum dalam ayat 234 surat al-Baqarah.
b.      Tarjih
Tarjih ( الترجيخ ), adalah menguatkan salah satu di antara dua dalil yang bertentangan tersebut berdasarkan beberapa indikasi yang dapat mendu­kungnya. Apabila masa turunnya/datangnya kedua dalil tersebut tidak dike­tahui, maka seorang mujtahid bisa melakukan tarjih terhadap salah satu da­lil, jika memungkinkan. Akan tetapi, dalam melakukan tarjih itu pun muj­tahid tersebut harus mengemukakan alasan-alasan lain yang membuat ia me­nguatkan satu dalil dari dalil lainnya. Tarjih itu, bisa dilakukan dari tiga sisi:
1)      Penunjuk kandungan lafal suatu nash. Contohnya, menguatkan nash yang muhkam (hukumnya pasti) dan tidak bisa di-naskh-kan (dibatalkan) dari mufassar (hukumnya pasti tetapi masih bisa di-naskh-kan).
2)      Dari segi hukum yang dikandungnya, seperti menguatkan dalil yang mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh.
3)      Dari sisi keadilan periwayat suatu hadits.
c.       Al-Jam'u wa al-Taufiq
Al-Jam'u wa al-Taufiq ( الجمع والتوفيق ), yaitu mengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan itu kemudian mengkompromikannya. Apabila dengan cara tarjih pun tidak bisa diselesaikan, maka menurut ulama Hanafiyyah dalil-dalil itu dikumpulkan dan dikompromikan. Dengan demikian, hasil kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya, karena kaidah fiqh menga­takan, "mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain." Misalnya, Rasulullah saw, bersabda:
اَلاَ اُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ الشُّهَدَاءِ؟ هُوَ الَّذِى يَأْتِى بِالشَّهَادَةِ قَبْلَ أَنْ يُسْأَلَهَا (رواه مسلم)
"Bukankhh saya telah memberitahu kamu sebaik-baik kesaksian? Yaitu kesak­ sian yang diberikan seseorang sebelum diminta menjadi saksi. (H.R. Mus­lim).
Maksudnya, kesaksian yang baik itu adalah kesaksian seseorang di hada­pan peradilan yang ia berikan tanpa diminta, baik itu kesaksian dalam hak­-hak Allah maupun dalam kasus yang menyangkut hak manusia.
Kemudian dalam hadits lain Rasulullah menyatakan,
إِنَّ خَيْرَكُمْ قَرْنِى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهَا ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهَا ثُمَّ يَكُوْنُ قَوْمٌ يَشْهَدُوْنَ وَلاَيُسْتَشْهَدُوْنَ وَيَخُوْنُوْنَ وَلاَيُؤْتَمَنُوْنَ… (رواه البخارى ومسلم)  
Sebaik-baik generasi adalah generasiku kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya pula, lalu setelah itu orang-orang akan mem­berikan kesaksiannya (di depan hakim) tanpa diminta, sedangkan mereka tidak menyaksikan peristiwa itu, dan mereka berkhianat serta tidak dapat dipercaya. (H.R. al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini mengandung pengertian bahwa pada suatu generasi nanti akan muncul orang-orang yang berusaha menjadi saksi sementara mereka sendiri tidak menyaksikan peristiwa yang disidangkan itu.
Dalam pertentangan antara kedua hadits ini, maka hadits pertama bisa diartikan dengan kasus-kasus yang terkait dengan hak Allah dan kesaksian dalam hadits kedua menyangkut hak-hak manusia.
Contoh lain adalah dalam masalah darah yang haram dikonsumsi. Dalam surat al-Ma'idah, 5: 3, Allah berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّامُ…
Diharamkan bagi kamu bangkai dan darah...
Darah dalam ayat itu tidak membedakan antara darah yang mengalir dalam tubuh dengan darah yang sudah beku seperti hati. Kemudian dalam ayat lain Allah berfirman:
إِلاَّ اَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَامًا مَسْفُوْحًا…
... kecuali (yang diharamkan itu) bangkai dan darah yang mengalir... (Q.S. al An'am, 6: 145)
Ayat ini mengandung hukum bahwa darah yang diharamkan itu adalah darah yang mengalir. Dengan demikian, darah yang diharamkan secara mut­lak dalam surat al-Ma'idah, 5: 3 dibatasi dengan darah yang mengalir dalam surat al-An'am, 6: 145. Dengan demikian, pengkompromian antara dalil-­dalil yang secara lahirnya bertentangan dapat diselesaikan.
d.      Tasâqut al-Dalîlain
Tasâqut al-Dalîlain yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan. Apabila cara ketiga di atas tidak bisa juga dilakukan oleh seorang mujtahid, maka ia boleh menggugurkan kedua dalil tersebut; dalam arti ia merujuk dalil lain yang tingkatannya di bawah derajat dalil yang bertentangan tersebut. Apabila dalil yang bertentangan dan tidak bisa di-naskh atau di-tarjih atau dikompromikan itu adalah antara dua ayat, maka seorang mujtahid boleh mencari dalil lain yang kualitasnya di bawah ayat al-Qur'an, yaitu Sunnah. Apabila kedua hadits yang berbicara tentang masalah yang ia selesaikan itu juga bertentangan dan cara-cara di atas tidak bisa juga ditempuh, maka ia boleh mengambil pendapat sahabat bagi mujta­hid yang menjadikannya dalil syara' atau menetapkan hukumnya melalui qiyas (analogi), bagi yang tidak menerima kehujjahan pendapat sahabat.
Seorang mujtahid, menurut ulama Hanafiyyah, hanya dibolehkan me­milih dalil yang kualitasnya rendah apabila ia telah melakukan upaya mak­simal dalam melacak dalil yang kualitasnya lebih tinggi. Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan di atas, harus dilakukan se­cara berurutan dari cara pertama sampai kepada cara keempat.
2.      Menurut Syafi'iyyah, Malikiyyah dan Zhahiriyyah
Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut ulama Syafi'iyyah, Malikiyyah, dan Zhahiriyyah adalah sebagai berikut:
a.      Jam'u wa al-Taufiq
Ulama Syafi'iyyah, Malikiyyah dan Zhahiriyyah menyatakan bahwa metode pertama yang harus ditempuh adalah mengumpulkan dan mengkompromikan kedua dalil tersebut; sekalipun dari satu sisi saja. Alasan mereka adalah kaidah fiqh yang dikemukakan Hanafiyyah di atas yaitu "mengamal­kan kedua dalil itu lebih baik daripada meninggalkan salah satu diantaranya." Mengamalkan kedua dalil; sekalipun dari satu segi, menurut mereka ada tiga cara, yaitu:
1)      Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bisa dibagi, maka di­lakukan cara pembagian yang sebaik-baiknya. Apabila, dua orang sa­ling menyatakan bahwa rumah "A" adalah miliknya maka kedua per­nyataan itu jelas bertentangan yang sulit untuk diselesaikan, karena pemilikan terhadap sesuatu sifatnya menyeluruh. Akan tetapi, kare­na barang yang dipersengketakan adalah barang yang bisa dibagi, maka penyelesaiannya adalah dengan membagi dua rumah tersebut.
2)      Apabila hukum yang bertentangan itu sesuatu yang berbilang, seperti sabda Rasulullah saw. yang menyatakan:
لاصلاة لجار المسجد إلا فى المسجد (رواه أبو داود وأحمد بن حنبل)
Tidak (dinamakan) shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid. (H.R. Abu Daud dan Ahmad ibn Hanbal)
Dalam hadits ini ada kata "la" yang dalam ushul fiqh mempunyai pengertian banyak, yaitu bisa berarti "tidak sah," bisa berarti "tidak sempurna" dan bisa berarti "tidak utama." Oleh sebab itu, seorang mujtahid boleh memilih salah satu pengertian mana saja, asal didukung oleh dalil lain:
3)      Apabila hukum tersebut bersifat umum yang mengandung beberapa hukum, seperti kasus 'iddah bagi wanita hamil di atas, atau kasus persaksian yang terdapat dalam hadits di atas. Surat al-Baqarab, 2: 234 bersifat umum dan surat al-Thaldq, 65: 4 bersifat khusus, maka dari satu sisi 'iddah wanita hamil ditentukan hukumnya berdasarkan kandungan surat al-Thalaq, 65: 4. Ulama Hanafiyyah menempuh cara ini dengan metode naskh, bukan melalui pengkompromian.
b.      Tarjîh
Apabila pengkompromian kedua dalil itu tidak bisa dilakukan, maka seorang mujtahid boleh menguatkan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya. Tata tarjîh yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqh bisa ditempuh dengan berbagai cara. Umpamanya, dengan mentarjîh dalil yang lebih banyak diriwayatkan orang dari dalil yang perawinya sediltit, bisa juga melalui pen-tarjîh-an sanad (para penutur hadits), bisa melalui pen-tarjîh-an dari sisi matan (lafal hadits), atau ditarjîh berdasarkan indikasi lain di luar nash.
c.       Naskh
Apabila dengan cara tarjih kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan, maka cara ketiga yang ditempuh adalah dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandung kedua dalil tersebut, dengan syarat harus diketa­hui mana dalil yang pertama kali datang dan mana yang datang kemudian. Dalil yang datang kemudian inilah yang diambil dan diamalkan, seperti sabda Rasulullah saw.:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ أَلاَ فُزُوْرُوْهَا (رواه مسلم)
Adalah saya melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi sekarang ziarahilah. (H.R. Muslim).
Dalam hadits ini mudah sekali dilacak mana hukum yang pertama dan mana yang terakhir. Hukum pertama adalah tidak boleh menziarahi kubur, dan hukum terakhir adalah dibolehkan menziarahi kubur, karena 'illat (motivasi) larangan dilihat Nabi saw. tidak ada lagi.
d.      Tasâqut al-Dalîlain
Apabila cara ketiga, yaitu naskh pun tidak bisa ditempuh, maka seorang mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil itu dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang bertentangan tersebut.
Menurut ulama Syafi'iyyah, Malikiyyah dan Zhahiriyyah, keempat cara tersebut harus ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menyelesaikan pertentangan dua dalil secara berurutan.


3 komentar:

  1. Assalamu'alaikum. salam kenal. artikelnya bermanfaat. berkunjunglah ke tempat saya. terima kasih http://ushulfikih.blogspot.com

    BalasHapus
  2. assalamu'alaikum. jazakalahu khair. sangat bermanfaat. kunjungi blog saya juga ya. gentasukses.blogspot.com

    BalasHapus
  3. walaikumsalam terimah kasih banyak semoga bermanfaat juga kunjungi blog saya juga
    http://ahmadm4kruf.blogspot.co.id/

    BalasHapus